Minggu, 17 Maret 2013

Sejarah Kemerdekaan Indonesia II

“Cepat atau lambat, setiap bangsa yang ditindas pasti memperoleh kemerdekaannya kembali; itulah hukum sejarah yang tidak dapat dimungkiri. Hanya soal proses dan cara bagaimana mereka memperoleh kembali kemerdekaan itu yang tergantung pada mereka yang pada saat itu memegang kekuasaan.”
—Moh. Hatta dalam Indonesia Merdeka, 1924.
Sejarah adalah sebuah relativitas. Karena itu, memahami sebuah narasi historis memerlukan interpretasi yang kontekstual dan manyeluruh untuk menghindari pemihakan secara apriori. Sebuah teks yang diwariskan secara turun temurun sebagai transmiter historis[2] ditafsirkan menurut basis ideologi setiap narator. Biasanya, dalam sejarah sebuah bangsa, penguasa memegang otoritas kebenaran sejarah. Semata karena ada vested interest yang bermain di sana. Karena setiap ilmu tidak neutral value, melainkan value-laden (dimuati nilai-nilai).
Menulis sejarah bukanlah sebuah tugas yang mudah. Berbeda dengan penulisan sejarah masa lalu yang terfokus pada penuturan kejadian atau event sejarah berdasar fakta (narrative type), historiografi masa kini tidak ubahnya dengan disiplin ilmu lain yang membutuhkan perangkat pembantu, seperti disiplin ilmu arkeologi, sosiologi, antropologi, psikologi, agama dan lainnya.
Keberhasilan penulisan sejarah, menurut Paul Veyne, kritikus teks asal Prancis dalam Writing History, tergantung pada kepandaian narator sejarah dalam menganalisis dan menghubungkan data, keahliannya dalam menerjemahkan sikap pelaku sejarah serta ketajaman intuisinya dalam menelusuri jalan pikiran, mentalitas serta kecenderungan kelompok atau bangsa yang diteliti dan ditulis. Alhasil, sejarawan harus memiliki erudition (pengetahuan memadai, wawasan luas dan pengalaman tinggi).
Untuk itu, para pakar metodologi penulisan sejarah menggarisbawahi empat segi penting yang harus dipenuhi dalam proses historiografi. Secara berurut adalah: heuristik atau kemahiran teknik riset yang hanya dapat diperoleh dari pengalaman, pengetahuan tentang interpretasi kejadian sejarah, penelitian data dan selanjutnya penuturan melalui tulisan.
Berdasarkan hal di atas, maka sulit ditemukan metode ilmiah yang baku atau prinsip-prinsip universal yang dapat digunakan untuk penulisan sejarah. Tak dapat disangkal bahwa historiografi tidak terlepas dari kecenderungan dan latar belakang penulis. Karena penulisan sejarah banyak diarahkan penulisnya maka sangat sulit dicapai karya yang memiliki “obyektivitas” tinggi. Hingga Yoyce Dedalus, tidak saja meragukan obyektivitas penulisan sejarah bahkan menamakannya nightmare (mimpi buruk). Dari kenyataan ini pula, kita dapat menyebut bahwa sejarah hanyalah cerita-cerita kelompok pemenang (stories of victorious).[3]
Perdebatan tentang subyektivitas-obyektivitas sejarah akan selalu mewarnai penilaian kebenaran. Namun, disini perlu digarisbawahi bahwa subyektivitas bukanlah lebih rendah dari obyektif. Karena obyektivitas sendiri sangat absurd parameternya. Yang dapat dilakukan kemudian adalah memberi jaminan khusus dari gejala subyektif tersebut terhadap kemungkinaan terjadinya kekeliruan[4].
Sejarah Bangsa masa Orba
Banyak yang memiliki asumsi bahwa masa Orde Baru merupakan masa gelap bagi sejarah bangsa. Saat itu, sejarah bangsa dimanipulasi—atau lebih tepatnya, hegemoni interpretasi—dengan tujuan politis oleh penguasa demi memperoleh legitimasi bagi kekuasaannya atau sekedar mencari pengaruh untuk memantapkan posisi politiknya.
Sebagai misal, peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta.[5] Penuturan dan sosialisasinya menggunakan sarana film. Sinema yang disutradarai oleh Alam Rengga Surawidjaja ini menceritakan “heroisme-patriotik” Soeharto dalam melakukan serangan terhadap Belanda. Dengan adegan sedemikian rupa hingga mengesankan bahwa hanya dari kalangan militerlah kemerdekaan dan kemenangan sebuah perjuangan dapat diperoleh. Karena mereka adalah sosok manusia yang tanpa kenal takut, tak pernah putus asa dan selalu tegar. Sedangkan kalangan sipil adalah golongan mayoritas manusia yang selalu ragu-ragu, mudah menyerah dan oportunis. Hasilnya adalah, kekuasaan militer di Indonesia tetap langgeng karena mereka yang menyelamatkan negara.
Kedua, tentang manipulasi Supersemar. Hal ini dilakukan oleh para jendral, adalah mula suatu makar besar-besaran untuk merebut kekuasaan negara dengan menggunakan nama dan kewibawaan Presiden Sukarno; dengan menggunakan selubung legalitas dan konstituasionalitas MPRS. Boleh juga dikatakan bahwa dalam sejarah perkembangan bangsa ini bernegara; sejak bangsa ini berusaha untuk menegakkan negara hukum Indonesia, manipulasi Supersemar adalah tindakan inkonstitusional yang paling besar yang telah terjadi, yang telah menghancurkan sendi-sendi negara hukum yang sedang dibina oleh bangsa kita. Adalah untuk pertama kalinya dalam sejarah kenegaraan yang diketahui sebegitu jauh, bahwa kekuasaan politik seorang presiden dari suatu negara, telah direbut dengan menggunakan kewibawaan dari presiden yang bersangkutan, dan dilakukan atas nama presiden yang digulingkan itu.
Ketiga, tentang sejarah komunisme di Indonesia. Pemberontakan G 30 S/PKI, hingga detik ini masih tertutupi oleh kabut mitos. Rezim penguasa dengan cerdas memanfaatkan tindakan brutal PKI pada 1948 dan 1965 yang telah melukai hati anak bangsa. Komunisme sebagai momok yang menakutkan rakyat benar-benar ditanamkan dalam benak masyarakat. Bahkan sebagai wacana akademis pun, komunisme terlarang. Belum lagi tentang 20 juta nasib anak cucu (orang yang dianggap sebagai) PKI atau organ otonomnya, mereka menderita, dikucilkan, terlunta-lunta dan dijauhi masyarakat karena dendam sejarah lama. Syukurlah kini, mereka dapat memperoleh hak-hak politiknya kembali, setelah menunggu 38 tahun !
Keempat, tentang Darul Islam sebagai ancaman. Selama rezim Orba berkuasa, umat Islam mengalami marginalisasi luar biasa. Lapangan politik merupakan hal yang tabu bagi mereka. Kalaupun ada, institusi politik itu hanyalah kuda tunggangan penguasa. Semenjak pemberontakan S.M. Kartosoewirjo dan sejumlah rekannya, narasi sejarah tentang peran ulama dan elite Muslim di Indonesia seakan dihapus dari sejarah bangsa. Kurikulum pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, dikemas sedemikian rupa untuk penguasa sekuler, banyak anak bangsa yang tidak mengetahui sejarah kemerdekaanya sendiri.[6]
Empat hal di atas hanyalah sekelumit kecil contoh pembelokan sejarah oleh penguasa.[7] Masih banyak rentetan historis lain yang kabur dan tertutupi semak mitologi. Termasuk ketika membicarakan sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia maka kita akan disodori berbagai paparan “fakta” sejarah dari masing-masing kelompok. Basis ideologi dari penutur akan sangat mempengaruhi paparan tentang: siapa tokoh yang membuat sejarah, bagaimana kronologi peristiwanya, bagaimana teks yang menjadi pembuka kebebasan bangsa Indonesia, siapa yang paling berpengaruh dan sederet “data” lainnya. Seringkali kemudian timbul pertanyaan, kebenaran sejarah bangsa akankah tergadai oleh sentimen primordialisme kelompok yang mengambil legitimasi historiografi? Di sini kita harus bertanya tentang “kemerdekaan sejarah” dari sekapan vested interest penguasa.
Kontroversi Sejarah Proklamasi
Sejarah Indonesia menjelang kemerdekaan mulai diperdebatkan, terutama pasca keruntuhan Orde Baru yang melakukan hegemoni interpretasi historis selama ini. Versi yang muncul kurang lebih terdiri tiga jenis—berdasar basis ideologi narator—, yaitu nasionalis (baca: negara), kaum kanan yang diwakili DI/TII dan kaum kiri (sosialis-komunis) yang diwakili Tan Malaka. Sebelum pemaparan lanjut, kita lihat setting awal pra kemerdekaan:
Rakyat Indonesia pada awalnya gembira menyambut tentara Dai Nippon (Jepang), yang dianggap sebagai saudara tua yang akan membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan. Namun pemerintah militer Jepang, ternyata tak berbeda dengan pemerintah Hindia Belanda. Semua kegiatan politik dilarang sehingga para pemimpin yang bersedia bekerjasama, berusaha menggunakan gerakan rakyat bentukan Jepang, seperti Tiga-A (Nippon Cahaya Asia, Pelindung Asia dan Pemimpin Asia) atau PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat), untuk membangunkan rakyat dan menanamkan cita-cita kemerdekaan di balik punggung pemerintah militer Jepang.
Tahun 1943, dibentuk Tjuo Sangi-in, sebuah badan perwakilan yang hanya bertugas menjawab pertanyaan Saiko Sikikan, penguasa militer tertinggi, mengenai hal-hal yang menyangkut usaha memenangkan perang Asia Timur Raya. Jelas bahwa Tjuo Sangi-in bukan badan perwakilan apalagi parlemen yang mewakili bangsa Indonesia.
Tanggal 14 Agustus 1945, Jepang dibom oleh “Serikat,” lalu Uni Sovyet menyatakan perang terhadap Jepang. Dengan demikian Jepang akan kalah dalam waktu singkat, sehingga proklamasi harus segera dilaksanakan. Tanggal 16 Agustus1945, para tokoh pemuda bersepakat menjauhkan Soekarno Hatta keluar kota (Rengasdengklok, Karawang) dengan tujuan menjauhkan dari pengaruh Jepang yang berkedok menjanjikan kemerdekaan, dan didesaklah Soekarno-Hatta agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Setelah berunding selama satu malam di rumah Laksamana Maeda, maka pada tanggal 17 Agustus 1945 atas nama Bangsa Indonesia membacakan proklamasi kemerdekaan di halaman rumahnya Jl. Pegangsaan Timur 56, Jakarta.[8]
Dalam tuturan di atas, banyak historical inquiry yang dapat diajukan, antara lain: (1) atas inisiatif siapakah kaum muda melakukan gerakan percepatan kemerdekaan tersebut? (2) siapakah para tokoh kaum muda itu? (3). mengapa perundingan justru dilaksanakan di rumah Laksamana Maeda yang notabene dalah orang Jepang? (4) bagaimana perbedaan metode antara diplomat dan pejuang front fisik; antara moderat dan radikal? (5) bagaimana peran tokoh Soekarno saat itu, semisal Kartosoewiryo, Tan Malaka dan Syahrir? Pertanyaan ini—yang bernada gugatan—selanjutnya akan berkembang pada penelusuran data-data obyektif dan diharapkan akan menampilkan sejarah yang adil dan seimbang. Sejarah yang memberi tempat yang layak juga bagi pejung bangsa, selain dua proklamator itu.
Di bawah ini terdapat paparan sejarah awal proklamasi kemerdekaaan RI dengan penonjolan peran tokoh-tokoh gerakan, yang selama ini menjadi “buronan” dan tidak di terima dalam lapangan sejarah sebagai pahlawan. Dua orang itu adalah Kartosoewiryo dan Tan Malaka.
S.M. Kartosoewiryo sang “Buronan” Negara
Ketika Hirosima dan Nagasaki dibom (6-9 Mei 1945) S.M. Kartosuwiryo sudah tahu melalui berita radio, sehingga ia berusaha memanfaatkan peluang ini untuk sosialisasi proklamasi Negara Islam Indonesia. Ia datang ke Jakarta bersama pasukan Hizbullah dan mengumpulkan massa guna mensosialisasikan kemungkinan berdirinya Negara Islam Indonesia, dan rancangan konsep proklamasi Negara Islam Indonesia kepada masyarakat. Sebagai seorang tokoh nasional yang pernah ditawari sebagai seorang menteri pertahanan muda yang kemudian ditolaknya, melakukan hal ini tentu bukan perkara sulit. Salah satu di antara massa yang hadir dalam pertemuan tersebut dalah Sukarni dan Ahmad Subarjo.
Mengetahui banyak dukungan terhadap sosialisasi ini, mereka menculik Soekarno Hatta ke Rengasdengklok agar mempercepat proklamasi RI sehingga Negara Islam Indonesia tidak jadi tegak. Bahkan dalam bukunya, Holk H. Dengel menyebutkan bahwa pada tanggal 14 Agustus 1945, Negara Islam Indonesia telah diproklamasikan, tetapi yang sebenarnya baru sosialisasi saja.
Ketika di Rengasdengklok, Soekarmo menyatakan kepada Ahmad Soebarjo, sebagaimana ditulis Mr .Ahmad Soebarjo dalam bukunya Lahirnya Republik Indonesia. Pertanyaan Soekarno itu adalah, “Masih ingatkah saudara, teks dari bab pembukaan Undang-Undang Dasar kita?”
“Ya saya ingat,” saya menjawab, “tetapi tidak lengkap seluruhnya.” “Tidak mnengapa,” Soekarno bilang, “Kita hanya memerlukan kalimat-kalimat yang menyangkut proklamasi dan bukan seluruh teksnya.” Soekarno kemudian mengambil secarik kertas dan melukiskan sesuai dengan apa yang saya ucapkan sebagai berikut: “Kami rakyat Indonesia dengan ini meyatakan kemerdekaan.”
Jika kesaksian Ahmad Soebarjo ini benar, jelas tidak masuk akal, karena kita tahu bahwa UUD 1945 baru disahkan dan disetujui tanggal 18 Agustus 1945 setelah proklamasi. Sehingga pertanyaan yang benar semestinya adalah, “masih ingatkah saudara tentang sosialisasi proklamasi Negara Islam Indonesia?” Maka wajarlah jika naskah proklamasi RI yang asli terdapat banyak coretan. Jelaslah bahwa ternyata Soekarno yang menjiplak naskah proklamasi Negara Islam Indonesia, dan bukan sebaliknya. Memang sedikit sejarawan yang mengetahui kebenaran sejarah ini. Di antara yang sedikit itu adalah Ahmad Mansyur Suryanegara, beliau pernah mengatakan bahwa S.M. Kartosoewiryo pernah datang ke Jakarta pada awal Agustus 1945 bersama pasukan Hizbullah dan Sabilillah.
“Sebenarnya, sebelum hari-hari menjelang proklamasi RI tanggal 17 Agustus 1945, Kartosuwiryo telah lebih dahulu menebar aroma deklarasi kemerdekaan Islam, ketika kedatangannya pada awal bulan Agustus setelah mengetahui bahwa perseteruan antara Jepang dan Amerika memuncak dan menjadi bumerang bagi Jepang. Ia datang ke Jakarta bersama beberapa orang pasukan laskar Hizbullah, dan segera bertemu dengan beberapa elit pergerakan atau kaum nasionalis untuk memperbincangkan peluang yang mesti diambil guna mengakhiri sekaligus merubah determinisme sejarah rakyat Indonesia.
Untuk memahami mengapa pada tanggal 16 Agustus pagi Soekarno dan Hatta tidak ditemukan di Jakarta, kiranya historical enquiry berikut ini perlu diajukan. Mengapa mereka mesti menghindar begitu jauh ke Rengasdengklok, padahal Jepang memang sangat menyetujui persiapan kemerdekaan RI? Mengapa ketika Soebarjo ditanya Soekarno, tentang pembukaan Piagam Jakarta, jawaban yang diberikan dimulai dengan ‘kami bangsa Indonesia’? Bukankah itu sesungguhnya adalah rancangan proklamasi yang sudah dipersiapkan Kartosoewiryo pada tanggal 13 dan 14 Agustus sebelumnya kepada mereka?
Pada malam harinya, mereka telah dibawa oleh para pemimpin pemuda, yaitu Soekarni dan Ahmad Soebarjo, ke garnisun PETA di Rengasdengklok, sebuah kota kecil yang terletak di sebelah barat kota Karawang, dengan dalih melindungi mereka bilamana meletus suatu pemberontakan PETA dan Heiho. Ternyata tidak terjadi apapun, sehingga Soekarno dan Hatta segera menyadari bahwa kejadian ini merupakan suatu usaha memaksa mereka supaya menyatakan kemerdekaan di luar rencana Jepang, tujuan ini mereka tolak.
Laksamana Maeda mengirim kabar bahwa jika mereka dikembalikan dengan selamat, maka dia dapat mengatur agar pihak Jepang tidak mengiraukan bilamana kemerdekaan dicanangkan. Mereka mempersiapkan nakah proklamasi hanya berdasarkan ingatan tentang konsep proklamasi Islam yang dipersiapkan Kartosoewiryo pada awal Agustus 1945. Maka, seingat Soekarni dan Ahmad Soebarjo, naskah itu didasarkan pada bayang-bayang konsep proklamasi dari SM. Kartosoewiryo, bukan pada konsep pembukaan UUD 45 yang dibuat oleh BPUPKI atau PPKI[9].
Tan Malaka, Pahlawan yang Dipinggirkan
Tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dalam suatu upacara yang singkat dan terburu-buru di pekarangan rumah Soekarno di Jakarta. Hadirinnya terbatas pada sejumlah kecil tokoh perintis. Di situ mereka mendengarkan pernyataan kemerdekaan yang dibuat sesingkat mungkin: “Kami, bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.”
Iljas Hussein alias Tan Malaka tidak masuk dalam kelompok para perintis tersebut. Mantan pemimpin komunis ini sudah diusir dari negerinya tahun 1922, dan sejak itu ia hidup sebagai buronan. Sejak tahun 1924, ketika ia tiba di Cina sebagai agen Internasionale Komunis, terus ia diburu oleh polisi rahasia Belanda, Inggris, Perancis, Amerika Serikat dan Cina. Sesudah gagalnya pemberontakan komunis Indonesia tahun 1926-1927 yang ditentangnya, Tan Malaka memutuskan hubungan dengan Moskow dan mendirikan partai sendiri, Partai Repoeblik Indonesia (Pari) di Bangkok. Partai ini begitu tertutup, hingga untuk mengetahui eksistensinyapun Belanda membutuhkan waktu empat tahun. Dan sejak itu Belanda selalu memburu hampir setiap anggota Pari yang sempat direkrut. Sejak itu juga Tan Malaka praktis putus segala hubungan dengan tanah airnya.
Sebelum balatentara Jepang menyerbu dengan penuh kemenangan, ia sudah melarikan diri dari Cina dan menetap di Singapura, tapi di Singapura ia terkejar lagi, di tahun 1942. Maka iapun menyelinap ke Sumatera, dan dari sana ke Jakarta. Di Jakarta ia hidup sebagai orang biasa, sambil menulis dan memperhatikan. Namun sikap demikian dianggap tidak wajar untuk penghuni kampung, karena itu ia mulai dicurigai Jepang. Ia lalu melamar sebagai pengawas di tambang batubara Bayah, di Banten Selatan yang terpencil. Di sana ia berusaha betul meringankan beban penderitaan orang-orang Jawa yang menjadi pekerja paksa, romusha, hingga Jepang mulai mengusutnya.
Kerja yang berat, makanan yang buruk, dan berbagai penyakit yang menyertainya, memakan banyak korban jiwa. Ia mulai memendam kebencian kepada kekuasaan Jepang, dan kemudian mulai bersikap sangat kritis terhadap orang-orang Indonesia yang bekerja sama dengan Jepang. Ia mulai melibatkan diri dalam beberapa organisasi buatan Jepang yang tujuannya mengerahkan penduduk untuk mendukung upaya perang. Dengan orang-orang Banten, khususnya pemuda yang radikal, ia bahas masa depan perang, dan apa yang harus mereka lakukan selagi kekalahan Jepang semakin mendekat. Tidak mengherankan, kalau rekan-rekannya yang lebih muda kagum dengan pengetahuan, pengalaman, dan kemampuannya berbicara. Tidak mengherankan juga, kalau pada tanggal 9 Agustus 1945 ia dikirim ke Jakarta sebagai wakil mereka untuk menghubungi para pemuda radikal yang menonjol namanya, dan membicarakan kemerdekaan Indonesia bukan sebagai hadiah Jepang melainkan kemerdekaan yang direbut oleh pemuda Indonesia dari tangan penindas Jepang. Kalau Soekarno dan Hatta menolak ambil bagian dalam proklamasi seperti itu, ia mendapat kuasa dari para pemuda Banten untuk menandatangani Proklamasi itu sendiri.
Tan Malaka memang bertemu dengan Soekarni, salah seorang pemuda yang paling blak-blakan dalam mewujudkan proklamasi yang murni, pada tanggal 14 Agustus 1945. Soekarni sudah merasa, bahwa Iljas Hussein itu mungkin Tan Malaka yang sepak terjangnya pernah sangat ia kagumi. Tapi Hussein bisa jadi juga agen Jepang. Di pihak Tan Malaka sendiri, puluhan tahun hidup sebagai pelarian telah membuatnya bersikap hati-hati dan curiga, karena itu enggan ia mengungkapkan jati dirinya kepada Soekarni. Bagaimanapun, kesempatan itu lewat begitu saja. Beberapa tahun kemudian Tan Malaka menulis dalam otobiografinya: “Rupanya sejarah Proklamasi 17 Agustus tidak mengijinkanku untuk ambil bagian secara fisik, hanya secara spiritual. Aku sangat menyesalkan hal itu. Tetapi sejarah tidak peduli dengan sesal seorang manusia atau sesal satu kelas manusia.”[10]
Refleksi Proklamasi untuk Indonesia Kita
Dalam paparan di atas, nampak bahwa setiap kelompok mempunyai legitimasi. Semua golongan mencari apologi dan justifikasi kebenaran tindakan sambil tak lupa menonjolkan peran masing-masing dalam sejarah bangsa. Jika kita kembali menilik fungsi sejarah yaitu sebagai hikmah dan pelajaran untuk setiap manusia, maka pertentangan politik dengan legitimasi sejarah tidak patut untuk terus di kedepankan. Harus disadari, bahwa seluruh pejuang memiliki andil pada bidang masing-masing. Hanya tendensi politis-lah yang menyebabkan mereka “ditampilkan” dalam sejarah secara tidak adil, sebagai misal adalah dua pahlawan di atas: Kartosoewiryo dan Tan Malaka.
Kegagalan proses mengindonesia sebenarnya disebabkan oleh historiografi dari bangsa ini. Faktor ini merupakan derivat dari pemerintahan Orba. Selama Soeharto berkuasa, sejarah ditulis dan ditafsirkan untuk melegitimasi kekuasaannya. Sejarah juga direduksi dalam bentuk hafalan-hafalan atas peristiwa masalalu dan artefak-artefak yang ditinggalkan generasi terdahulu.[11]
Idealnya, setiap kali memperingati proklamasi kemerdekan, pertanyaan yang mengusik adalah apakah sesungguhnya kita sudah merdeka—dan bukan usreg tentang siapa yang paling berperan dalam perjuangan mencapainya, hatta dengan dalih pelurusan sejarah. Apakah kemerdekaan yang diperoleh 58 tahun lalu, kini telah memerdekakan kita dari kemiskinan, penindasan, pemasungan HAM dan semua ketertindasan yang dialami bangsa terjajah? Pasca proklamasi adalah soal bagaimana agar rakyat ini merdeka dari belenggu kemiskinan dan ketidakadilan. Adalah ironis tingkat kesejahteraan guru relatif lebih rendah dari pada semasa penjajahan. Adalah ironis rakyat sampai sekarang belum bebas dari budaya membayar upeti—yang sebetulnya adalah pungli.
Kata Goenawan Mohamad, orang ingin merdeka karena ia tahu apa artinya tidak merdeka. Tidak merdeka berarti: tiap saat siap ditempeleng, dilucuti, dibentak-bentak, diusir, dihina, diserobot, didiskriminasi, dilempar ke dalam sel, dan/atau dibunuh. Anehnya retorik Agustusan yang sekarang tak banyak bicara soal kesakitan itu bahkan sering terdengar kata “mengisi kemerdekaan”, seakan kemerdekaan adalah “sebuah ruang kantor yang kosong, yang necis, gratis dan tinggal diberi perabotan.”[12]
Para founding fathers mengaku dalam UUD ‘45 bahwa kemerdekaan dicapai bukan hanya sebagai hasil usaha perjuangan pergerakan nasional, tetapi terwujud berkat rahmat Allah yang Mahakuasa. K.H As’ad Syamsul Arifin, sesepuh NU itu berkata, ”kita sebagai orang Islam harus merayakan secara islami pula. Apalagi kita santri! Kita menghormati para pahlawan dengan cara mengirimi mereka pahala mengaji, bukan menyanyi. Kita selayaknya harus memasyarakatkan gerak batin bukan hanya gerak badan. Kita merayakan hari kemerdekaan, dengan cara memperbanyak membaca Al Quran, zikir dan sholawat![13]
Cita-cita bersama untuk merdeka begitu kuat. Kendati dalam kata-kata Ben Anderson, “tanggal 17 Agustus ‘45 Republik yang sudah lama diidam-idamkan lahir dan mulai melangkah dengan gugup.”[14] Bermodal kebersamaan dan kemauan untuk merdeka, dengan langkah gugup Indonesia masuk ke dalam babak baru berbangsa. Langkah itu tenyata juga historis di Asia, sebab Indonesia adalah daerah jajahan di Asia pasca PD II yang pertama kali memproklamasikan kemerdekaannya.
Segenap komponen bangsa tanpa memandang latar belakang etnis dan agama bersama-sama mengambil bagian dalam membentuk negara RI. Mereka terlibat sebagai anggota BPUPKI dan PPKI, permasalahan ideologis menyangkut dasar negara di selesaikan dengan penuh kearifan dalam ikatan solidaritas yang amat kuat, sekaligus memperlihatkan ikatan kebesaran jiwa para pendiri republik ini.***


[1] Tulisan ini ini pernah didiskusikan dalam forum Refleksi Proklamasi yang diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan Sejarah Peradaban Islam IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tanggal 18 Agustus 2003, bertempat di Aula I IAIN Yogyakarta
[2] Transmisi narasi historis dapat melalui teks, film atau berbagai sarana virtual seperti yang ada pad masa modern ini. Karena itu, transmisi dibagi dua: sejarah lisan (oral history) dan sejarah tulis. Dalam kenyataannya, sejarah lisan jauh lebih banyak daripada yang tetulis. Lihat, Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994) hlm. 19.
[3] Prof. Dr. Alwi Shihab, “Di Balik Radikalisme Islam Indonesia (1),” dalam Duta Masyarakat, 18 Desember 2002.
[4] Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 28
[5] Syamdani (ed.), Kontroversi Sejarah di Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2001) hlm. 9-11.
[6] Nurhakim Zaki, “Pengkhianatan 8 Agustus 1945,” tulisan dalam www.alislam.or.id edisi 16 Agutus 2002.
[7] Buku baru—tepatnya kumpulan artikel—yang telah terbit dan menguak sejarah gelap pada masa kekuasaan Orde Baru adalah tulisan Asvi Marwan Adam, Sejarah Gelap Soeharto, (Yogyakarta: Ombak, 2004)
[8] Secara umum, pemaparan sejarah awal proklamasi menggunakan diksi seperti tersebut di atas. Hampir seluruh buku pelajaran sejarah yang menjadi bacaan wajib siswa di sekolah sejak SD-SMA, memuat peristiwa itu. Datar dan tanpa ekspresi, juga “menyembunyikan” banyak pertanyaan bagi pembaca kritis. Lihat salah satunya di Tamar Djaja, Soekarno-Hatta, Persamaan dan Perbedaannya (Jakarta: Sastra Hudaya, 1981). Sebuah buku yang dikarang untuk mengkomparasikan sang Dwitunggal Indonesia.
[9] Tuturan historis berkaitan S.M Kartosoewiryo banyak ditulis oleh para sejarawan, terutama karena faktor pemberontakan DI/TII-nya. Kutipan ini dapat dilihat di Al Chaidar, Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo (Jakarta: Darul Falah, Muharram 1420 H), hlm. 65., Sebuah buku yang cukup memenuhi sisi metodologis kesejarahan.
[10] Lihat dalam http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1998/02/05/0037.html, selain itu sebuah tulisan yang cukup menguak kemisteriusan Tan Malaka adalah Alfian, “Tan Malaka: Pejuang Revolusioner yang Kesepian,” dalam Manusia dalam Kemelut Sejarah, (Jakarta: LP3ES, 1978), hlm 132-173.
[11] Alexander Aur, “Tragedi Kemanusiaan dan Historisitas Indonesia,” opini dalam Sinar Harapan, 5 Juli 2003.
[12] Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 4 (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 110.
[13] KHR. As’ad Syamsul Arifin, Percik-percik Pemikiran Kiai Salaf, Wejangan dari Balik Mimbar (Situbondo: PP. Salafiyyah Syafi’iyyah, 2000) hlm.9-10.
[14] Colin Wild & Peter Carey (ed.), Gelora Api Revolusi: Sebuah Antologi Sejarah; (Jakarta 1986), hlm 96.