“Cepat
atau lambat, setiap bangsa yang ditindas pasti memperoleh
kemerdekaannya kembali; itulah hukum sejarah yang tidak dapat
dimungkiri. Hanya soal proses dan cara bagaimana mereka memperoleh
kembali kemerdekaan itu yang tergantung pada mereka yang pada saat itu
memegang kekuasaan.”
—Moh. Hatta dalam Indonesia Merdeka, 1924.
Sejarah
adalah sebuah relativitas. Karena itu, memahami sebuah narasi historis
memerlukan interpretasi yang kontekstual dan manyeluruh untuk
menghindari pemihakan secara apriori. Sebuah teks yang diwariskan secara
turun temurun sebagai transmiter historis[2]
ditafsirkan menurut basis ideologi setiap narator. Biasanya, dalam
sejarah sebuah bangsa, penguasa memegang otoritas kebenaran sejarah.
Semata karena ada vested interest yang bermain di sana. Karena setiap ilmu tidak neutral value, melainkan value-laden (dimuati nilai-nilai).
Menulis
sejarah bukanlah sebuah tugas yang mudah. Berbeda dengan penulisan
sejarah masa lalu yang terfokus pada penuturan kejadian atau event
sejarah berdasar fakta (narrative type), historiografi masa kini
tidak ubahnya dengan disiplin ilmu lain yang membutuhkan perangkat
pembantu, seperti disiplin ilmu arkeologi, sosiologi, antropologi,
psikologi, agama dan lainnya.
Keberhasilan penulisan sejarah, menurut Paul Veyne, kritikus teks asal Prancis dalam Writing History,
tergantung pada kepandaian narator sejarah dalam menganalisis dan
menghubungkan data, keahliannya dalam menerjemahkan sikap pelaku sejarah
serta ketajaman intuisinya dalam menelusuri jalan pikiran, mentalitas
serta kecenderungan kelompok atau bangsa yang diteliti dan ditulis.
Alhasil, sejarawan harus memiliki erudition (pengetahuan memadai, wawasan luas dan pengalaman tinggi).
Untuk
itu, para pakar metodologi penulisan sejarah menggarisbawahi empat segi
penting yang harus dipenuhi dalam proses historiografi. Secara berurut
adalah: heuristik atau kemahiran teknik riset yang hanya dapat diperoleh
dari pengalaman, pengetahuan tentang interpretasi kejadian sejarah,
penelitian data dan selanjutnya penuturan melalui tulisan.
Berdasarkan
hal di atas, maka sulit ditemukan metode ilmiah yang baku atau
prinsip-prinsip universal yang dapat digunakan untuk penulisan sejarah.
Tak dapat disangkal bahwa historiografi tidak terlepas dari
kecenderungan dan latar belakang penulis. Karena penulisan sejarah
banyak diarahkan penulisnya maka sangat sulit dicapai karya yang
memiliki “obyektivitas” tinggi. Hingga Yoyce Dedalus, tidak saja
meragukan obyektivitas penulisan sejarah bahkan menamakannya nightmare (mimpi buruk). Dari kenyataan ini pula, kita dapat menyebut bahwa sejarah hanyalah cerita-cerita kelompok pemenang (stories of victorious).[3]
Perdebatan
tentang subyektivitas-obyektivitas sejarah akan selalu mewarnai
penilaian kebenaran. Namun, disini perlu digarisbawahi bahwa
subyektivitas bukanlah lebih rendah dari obyektif. Karena obyektivitas
sendiri sangat absurd parameternya. Yang dapat dilakukan kemudian adalah
memberi jaminan khusus dari gejala subyektif tersebut terhadap
kemungkinaan terjadinya kekeliruan[4].
Sejarah Bangsa masa Orba
Banyak
yang memiliki asumsi bahwa masa Orde Baru merupakan masa gelap bagi
sejarah bangsa. Saat itu, sejarah bangsa dimanipulasi—atau lebih
tepatnya, hegemoni interpretasi—dengan tujuan politis oleh
penguasa demi memperoleh legitimasi bagi kekuasaannya atau sekedar
mencari pengaruh untuk memantapkan posisi politiknya.
Sebagai misal, peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta.[5]
Penuturan dan sosialisasinya menggunakan sarana film. Sinema yang
disutradarai oleh Alam Rengga Surawidjaja ini menceritakan
“heroisme-patriotik” Soeharto dalam melakukan serangan terhadap Belanda.
Dengan adegan sedemikian rupa hingga mengesankan bahwa hanya dari
kalangan militerlah kemerdekaan dan kemenangan sebuah perjuangan dapat
diperoleh. Karena mereka adalah sosok manusia yang tanpa kenal takut,
tak pernah putus asa dan selalu tegar. Sedangkan kalangan sipil adalah
golongan mayoritas manusia yang selalu ragu-ragu, mudah menyerah dan
oportunis. Hasilnya adalah, kekuasaan militer di Indonesia tetap
langgeng karena mereka yang menyelamatkan negara.
Kedua,
tentang manipulasi Supersemar. Hal ini dilakukan oleh para jendral,
adalah mula suatu makar besar-besaran untuk merebut kekuasaan negara
dengan menggunakan nama dan kewibawaan Presiden Sukarno; dengan
menggunakan selubung legalitas dan konstituasionalitas MPRS. Boleh juga
dikatakan bahwa dalam sejarah perkembangan bangsa ini bernegara; sejak
bangsa ini berusaha untuk menegakkan negara hukum Indonesia, manipulasi
Supersemar adalah tindakan inkonstitusional yang paling besar yang telah
terjadi, yang telah menghancurkan sendi-sendi negara hukum yang sedang
dibina oleh bangsa kita. Adalah untuk pertama kalinya dalam sejarah
kenegaraan yang diketahui sebegitu jauh, bahwa kekuasaan politik seorang
presiden dari suatu negara, telah direbut dengan menggunakan kewibawaan
dari presiden yang bersangkutan, dan dilakukan atas nama presiden yang
digulingkan itu.
Ketiga,
tentang sejarah komunisme di Indonesia. Pemberontakan G 30 S/PKI,
hingga detik ini masih tertutupi oleh kabut mitos. Rezim penguasa dengan
cerdas memanfaatkan tindakan brutal PKI pada 1948 dan 1965 yang telah
melukai hati anak bangsa. Komunisme sebagai momok yang menakutkan rakyat
benar-benar ditanamkan dalam benak masyarakat. Bahkan sebagai wacana
akademis pun, komunisme terlarang. Belum lagi tentang 20 juta nasib anak
cucu (orang yang dianggap sebagai) PKI atau organ otonomnya, mereka
menderita, dikucilkan, terlunta-lunta dan dijauhi masyarakat karena
dendam sejarah lama. Syukurlah kini, mereka dapat memperoleh hak-hak
politiknya kembali, setelah menunggu 38 tahun !
Keempat,
tentang Darul Islam sebagai ancaman. Selama rezim Orba berkuasa, umat
Islam mengalami marginalisasi luar biasa. Lapangan politik merupakan hal
yang tabu bagi mereka. Kalaupun ada, institusi politik itu hanyalah
kuda tunggangan penguasa. Semenjak pemberontakan S.M. Kartosoewirjo dan
sejumlah rekannya, narasi sejarah tentang peran ulama dan elite Muslim
di Indonesia seakan dihapus dari sejarah bangsa. Kurikulum pendidikan
dasar sampai perguruan tinggi, dikemas sedemikian rupa untuk penguasa
sekuler, banyak anak bangsa yang tidak mengetahui sejarah kemerdekaanya
sendiri.[6]
Empat hal di atas hanyalah sekelumit kecil contoh pembelokan sejarah oleh penguasa.[7]
Masih banyak rentetan historis lain yang kabur dan tertutupi semak
mitologi. Termasuk ketika membicarakan sejarah kemerdekaan bangsa
Indonesia maka kita akan disodori berbagai paparan “fakta” sejarah dari
masing-masing kelompok. Basis ideologi dari penutur akan sangat
mempengaruhi paparan tentang: siapa tokoh yang membuat sejarah,
bagaimana kronologi peristiwanya, bagaimana teks yang menjadi pembuka
kebebasan bangsa Indonesia, siapa yang paling berpengaruh dan sederet
“data” lainnya. Seringkali kemudian timbul pertanyaan, kebenaran sejarah
bangsa akankah tergadai oleh sentimen primordialisme kelompok yang
mengambil legitimasi historiografi? Di sini kita harus bertanya tentang
“kemerdekaan sejarah” dari sekapan vested interest penguasa.
Kontroversi Sejarah Proklamasi
Sejarah
Indonesia menjelang kemerdekaan mulai diperdebatkan, terutama pasca
keruntuhan Orde Baru yang melakukan hegemoni interpretasi historis
selama ini. Versi yang muncul kurang lebih terdiri tiga jenis—berdasar
basis ideologi narator—, yaitu nasionalis (baca: negara), kaum kanan
yang diwakili DI/TII dan kaum kiri (sosialis-komunis) yang diwakili Tan
Malaka. Sebelum pemaparan lanjut, kita lihat setting awal pra kemerdekaan:
Rakyat
Indonesia pada awalnya gembira menyambut tentara Dai Nippon (Jepang),
yang dianggap sebagai saudara tua yang akan membebaskan Indonesia dari
belenggu penjajahan. Namun pemerintah militer Jepang, ternyata tak
berbeda dengan pemerintah Hindia Belanda. Semua kegiatan politik
dilarang sehingga para pemimpin yang bersedia bekerjasama, berusaha
menggunakan gerakan rakyat bentukan Jepang, seperti Tiga-A (Nippon
Cahaya Asia, Pelindung Asia dan Pemimpin Asia) atau PUTERA (Pusat Tenaga
Rakyat), untuk membangunkan rakyat dan menanamkan cita-cita kemerdekaan
di balik punggung pemerintah militer Jepang.
Tahun 1943, dibentuk Tjuo Sangi-in, sebuah badan perwakilan yang hanya bertugas menjawab pertanyaan Saiko Sikikan,
penguasa militer tertinggi, mengenai hal-hal yang menyangkut usaha
memenangkan perang Asia Timur Raya. Jelas bahwa Tjuo Sangi-in bukan
badan perwakilan apalagi parlemen yang mewakili bangsa Indonesia.
Tanggal
14 Agustus 1945, Jepang dibom oleh “Serikat,” lalu Uni Sovyet
menyatakan perang terhadap Jepang. Dengan demikian Jepang akan kalah
dalam waktu singkat, sehingga proklamasi harus segera dilaksanakan.
Tanggal 16 Agustus1945, para tokoh pemuda bersepakat menjauhkan Soekarno
Hatta keluar kota (Rengasdengklok, Karawang) dengan tujuan menjauhkan
dari pengaruh Jepang yang berkedok menjanjikan kemerdekaan, dan
didesaklah Soekarno-Hatta agar segera memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia. Setelah berunding selama satu malam di rumah Laksamana Maeda,
maka pada tanggal 17 Agustus 1945 atas nama Bangsa Indonesia membacakan
proklamasi kemerdekaan di halaman rumahnya Jl. Pegangsaan Timur 56,
Jakarta.[8]
Dalam tuturan di atas, banyak historical inquiry
yang dapat diajukan, antara lain: (1) atas inisiatif siapakah kaum muda
melakukan gerakan percepatan kemerdekaan tersebut? (2) siapakah para
tokoh kaum muda itu? (3). mengapa perundingan justru dilaksanakan di
rumah Laksamana Maeda yang notabene dalah orang Jepang? (4) bagaimana
perbedaan metode antara diplomat dan pejuang front fisik; antara moderat
dan radikal? (5) bagaimana peran tokoh Soekarno saat itu, semisal
Kartosoewiryo, Tan Malaka dan Syahrir? Pertanyaan ini—yang bernada
gugatan—selanjutnya akan berkembang pada penelusuran data-data obyektif
dan diharapkan akan menampilkan sejarah yang adil dan seimbang. Sejarah
yang memberi tempat yang layak juga bagi pejung bangsa, selain dua
proklamator itu.
Di
bawah ini terdapat paparan sejarah awal proklamasi kemerdekaaan RI
dengan penonjolan peran tokoh-tokoh gerakan, yang selama ini menjadi
“buronan” dan tidak di terima dalam lapangan sejarah sebagai pahlawan.
Dua orang itu adalah Kartosoewiryo dan Tan Malaka.
S.M. Kartosoewiryo sang “Buronan” Negara
Ketika
Hirosima dan Nagasaki dibom (6-9 Mei 1945) S.M. Kartosuwiryo sudah tahu
melalui berita radio, sehingga ia berusaha memanfaatkan peluang ini
untuk sosialisasi proklamasi Negara Islam Indonesia. Ia datang ke
Jakarta bersama pasukan Hizbullah dan mengumpulkan massa guna
mensosialisasikan kemungkinan berdirinya Negara Islam Indonesia, dan
rancangan konsep proklamasi Negara Islam Indonesia kepada masyarakat.
Sebagai seorang tokoh nasional yang pernah ditawari sebagai seorang
menteri pertahanan muda yang kemudian ditolaknya, melakukan hal ini
tentu bukan perkara sulit. Salah satu di antara massa yang hadir dalam
pertemuan tersebut dalah Sukarni dan Ahmad Subarjo.
Mengetahui
banyak dukungan terhadap sosialisasi ini, mereka menculik Soekarno
Hatta ke Rengasdengklok agar mempercepat proklamasi RI sehingga Negara
Islam Indonesia tidak jadi tegak. Bahkan dalam bukunya, Holk H. Dengel
menyebutkan bahwa pada tanggal 14 Agustus 1945, Negara Islam Indonesia
telah diproklamasikan, tetapi yang sebenarnya baru sosialisasi saja.
Ketika di Rengasdengklok, Soekarmo menyatakan kepada Ahmad Soebarjo, sebagaimana ditulis Mr .Ahmad Soebarjo dalam bukunya Lahirnya Republik Indonesia. Pertanyaan Soekarno itu adalah, “Masih ingatkah saudara, teks dari bab pembukaan Undang-Undang Dasar kita?”
“Ya
saya ingat,” saya menjawab, “tetapi tidak lengkap seluruhnya.” “Tidak
mnengapa,” Soekarno bilang, “Kita hanya memerlukan kalimat-kalimat yang
menyangkut proklamasi dan bukan seluruh teksnya.” Soekarno kemudian
mengambil secarik kertas dan melukiskan sesuai dengan apa yang saya
ucapkan sebagai berikut: “Kami rakyat Indonesia dengan ini meyatakan
kemerdekaan.”
Jika kesaksian Ahmad Soebarjo ini benar, jelas tidak masuk akal, karena kita
tahu bahwa UUD 1945 baru disahkan dan disetujui tanggal 18 Agustus 1945
setelah proklamasi. Sehingga pertanyaan yang benar semestinya adalah,
“masih ingatkah saudara tentang sosialisasi proklamasi Negara Islam
Indonesia?” Maka wajarlah jika naskah proklamasi RI yang asli terdapat
banyak coretan. Jelaslah bahwa ternyata Soekarno yang menjiplak naskah
proklamasi Negara Islam Indonesia, dan bukan sebaliknya. Memang sedikit
sejarawan yang mengetahui kebenaran sejarah ini. Di antara yang sedikit
itu adalah Ahmad Mansyur Suryanegara, beliau pernah mengatakan bahwa
S.M. Kartosoewiryo pernah datang ke Jakarta pada awal Agustus 1945
bersama pasukan Hizbullah dan Sabilillah.
“Sebenarnya,
sebelum hari-hari menjelang proklamasi RI tanggal 17 Agustus 1945,
Kartosuwiryo telah lebih dahulu menebar aroma deklarasi kemerdekaan
Islam, ketika kedatangannya pada awal bulan Agustus setelah mengetahui
bahwa perseteruan antara Jepang dan Amerika memuncak dan menjadi
bumerang bagi Jepang. Ia datang ke Jakarta bersama beberapa orang
pasukan laskar Hizbullah, dan segera bertemu dengan beberapa elit
pergerakan atau kaum nasionalis untuk memperbincangkan peluang yang
mesti diambil guna mengakhiri sekaligus merubah determinisme sejarah
rakyat Indonesia.
Untuk memahami mengapa pada tanggal 16 Agustus pagi Soekarno dan Hatta tidak ditemukan di Jakarta, kiranya historical enquiry
berikut ini perlu diajukan. Mengapa mereka mesti menghindar begitu jauh
ke Rengasdengklok, padahal Jepang memang sangat menyetujui persiapan
kemerdekaan RI? Mengapa ketika Soebarjo ditanya Soekarno, tentang
pembukaan Piagam Jakarta, jawaban yang diberikan dimulai dengan ‘kami
bangsa Indonesia’? Bukankah itu sesungguhnya adalah rancangan proklamasi
yang sudah dipersiapkan Kartosoewiryo pada tanggal 13 dan 14 Agustus
sebelumnya kepada mereka?
Pada
malam harinya, mereka telah dibawa oleh para pemimpin pemuda, yaitu
Soekarni dan Ahmad Soebarjo, ke garnisun PETA di Rengasdengklok, sebuah
kota kecil yang terletak di sebelah barat kota Karawang, dengan dalih
melindungi mereka bilamana meletus suatu pemberontakan PETA dan Heiho.
Ternyata tidak terjadi apapun, sehingga Soekarno dan Hatta segera
menyadari bahwa kejadian ini merupakan suatu usaha memaksa mereka supaya
menyatakan kemerdekaan di luar rencana Jepang, tujuan ini mereka tolak.
Laksamana
Maeda mengirim kabar bahwa jika mereka dikembalikan dengan selamat,
maka dia dapat mengatur agar pihak Jepang tidak mengiraukan bilamana
kemerdekaan dicanangkan. Mereka mempersiapkan nakah proklamasi hanya
berdasarkan ingatan tentang konsep proklamasi Islam yang dipersiapkan
Kartosoewiryo pada awal Agustus 1945. Maka, seingat Soekarni dan Ahmad
Soebarjo, naskah itu didasarkan pada bayang-bayang konsep proklamasi
dari SM. Kartosoewiryo, bukan pada konsep pembukaan UUD 45 yang dibuat
oleh BPUPKI atau PPKI[9].
Tan Malaka, Pahlawan yang Dipinggirkan
Tanggal
17 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia dalam suatu upacara yang singkat dan terburu-buru di
pekarangan rumah Soekarno di Jakarta. Hadirinnya terbatas pada sejumlah
kecil tokoh perintis. Di situ mereka mendengarkan pernyataan kemerdekaan
yang dibuat sesingkat mungkin: “Kami, bangsa Indonesia dengan ini
menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan
dan lain-lain diselenggarakan dengan seksama dan dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya.”
Iljas
Hussein alias Tan Malaka tidak masuk dalam kelompok para perintis
tersebut. Mantan pemimpin komunis ini sudah diusir dari negerinya tahun
1922, dan sejak itu ia hidup sebagai buronan. Sejak tahun 1924, ketika
ia tiba di Cina sebagai agen Internasionale Komunis, terus ia diburu
oleh polisi rahasia Belanda, Inggris, Perancis, Amerika Serikat dan
Cina. Sesudah gagalnya pemberontakan komunis Indonesia tahun 1926-1927
yang ditentangnya, Tan Malaka memutuskan hubungan dengan Moskow dan
mendirikan partai sendiri, Partai Repoeblik Indonesia (Pari) di Bangkok.
Partai ini begitu tertutup, hingga untuk mengetahui eksistensinyapun
Belanda membutuhkan waktu empat tahun. Dan sejak itu Belanda selalu
memburu hampir setiap anggota Pari yang sempat direkrut. Sejak itu juga
Tan Malaka praktis putus segala hubungan dengan tanah airnya.
Sebelum
balatentara Jepang menyerbu dengan penuh kemenangan, ia sudah melarikan
diri dari Cina dan menetap di Singapura, tapi di Singapura ia terkejar
lagi, di tahun 1942. Maka iapun menyelinap ke Sumatera, dan dari sana ke
Jakarta. Di Jakarta ia hidup sebagai orang biasa, sambil menulis dan
memperhatikan. Namun sikap demikian dianggap tidak wajar untuk penghuni
kampung, karena itu ia mulai dicurigai Jepang. Ia lalu melamar sebagai
pengawas di tambang batubara Bayah, di Banten Selatan yang terpencil. Di
sana ia berusaha betul meringankan beban penderitaan orang-orang Jawa
yang menjadi pekerja paksa, romusha, hingga Jepang mulai mengusutnya.
Kerja
yang berat, makanan yang buruk, dan berbagai penyakit yang
menyertainya, memakan banyak korban jiwa. Ia mulai memendam kebencian
kepada kekuasaan Jepang, dan kemudian mulai bersikap sangat kritis
terhadap orang-orang Indonesia yang bekerja sama dengan Jepang. Ia mulai
melibatkan diri dalam beberapa organisasi buatan Jepang yang tujuannya
mengerahkan penduduk untuk mendukung upaya perang. Dengan orang-orang
Banten, khususnya pemuda yang radikal, ia bahas masa depan perang, dan
apa yang harus mereka lakukan selagi kekalahan Jepang semakin mendekat.
Tidak mengherankan, kalau rekan-rekannya yang lebih muda kagum dengan
pengetahuan, pengalaman, dan kemampuannya berbicara. Tidak mengherankan
juga, kalau pada tanggal 9 Agustus 1945 ia dikirim ke Jakarta sebagai
wakil mereka untuk menghubungi para pemuda radikal yang menonjol
namanya, dan membicarakan kemerdekaan Indonesia bukan sebagai hadiah
Jepang melainkan kemerdekaan yang direbut oleh pemuda Indonesia dari
tangan penindas Jepang. Kalau Soekarno dan Hatta menolak ambil bagian
dalam proklamasi seperti itu, ia mendapat kuasa dari para pemuda Banten
untuk menandatangani Proklamasi itu sendiri.
Tan Malaka memang bertemu dengan Soekarni, salah seorang pemuda yang paling blak-blakan
dalam mewujudkan proklamasi yang murni, pada tanggal 14 Agustus 1945.
Soekarni sudah merasa, bahwa Iljas Hussein itu mungkin Tan Malaka yang
sepak terjangnya pernah sangat ia kagumi. Tapi Hussein bisa jadi juga
agen Jepang. Di pihak Tan Malaka sendiri, puluhan tahun hidup sebagai
pelarian telah membuatnya bersikap hati-hati dan curiga, karena itu
enggan ia mengungkapkan jati dirinya kepada Soekarni. Bagaimanapun,
kesempatan itu lewat begitu saja. Beberapa tahun kemudian Tan Malaka
menulis dalam otobiografinya: “Rupanya sejarah Proklamasi 17 Agustus
tidak mengijinkanku untuk ambil bagian secara fisik, hanya secara
spiritual. Aku sangat menyesalkan hal itu. Tetapi sejarah tidak peduli
dengan sesal seorang manusia atau sesal satu kelas manusia.”[10]
Refleksi Proklamasi untuk Indonesia Kita
Dalam
paparan di atas, nampak bahwa setiap kelompok mempunyai legitimasi.
Semua golongan mencari apologi dan justifikasi kebenaran tindakan sambil
tak lupa menonjolkan peran masing-masing dalam sejarah bangsa. Jika
kita kembali menilik fungsi sejarah yaitu sebagai hikmah dan pelajaran
untuk setiap manusia, maka pertentangan politik dengan legitimasi
sejarah tidak patut untuk terus di kedepankan. Harus disadari, bahwa
seluruh pejuang memiliki andil pada bidang masing-masing. Hanya tendensi
politis-lah yang menyebabkan mereka “ditampilkan” dalam sejarah secara
tidak adil, sebagai misal adalah dua pahlawan di atas: Kartosoewiryo dan
Tan Malaka.
Kegagalan
proses mengindonesia sebenarnya disebabkan oleh historiografi dari
bangsa ini. Faktor ini merupakan derivat dari pemerintahan Orba. Selama
Soeharto berkuasa, sejarah ditulis dan ditafsirkan untuk melegitimasi
kekuasaannya. Sejarah juga direduksi dalam bentuk hafalan-hafalan atas
peristiwa masalalu dan artefak-artefak yang ditinggalkan generasi
terdahulu.[11]
Idealnya,
setiap kali memperingati proklamasi kemerdekan, pertanyaan yang
mengusik adalah apakah sesungguhnya kita sudah merdeka—dan bukan usreg tentang siapa yang paling berperan dalam perjuangan mencapainya, hatta
dengan dalih pelurusan sejarah. Apakah kemerdekaan yang diperoleh 58
tahun lalu, kini telah memerdekakan kita dari kemiskinan, penindasan,
pemasungan HAM dan semua ketertindasan yang dialami bangsa terjajah?
Pasca proklamasi adalah soal bagaimana agar rakyat ini merdeka dari
belenggu kemiskinan dan ketidakadilan. Adalah ironis tingkat
kesejahteraan guru relatif lebih rendah dari pada semasa penjajahan.
Adalah ironis rakyat sampai sekarang belum bebas dari budaya membayar
upeti—yang sebetulnya adalah pungli.
Kata
Goenawan Mohamad, orang ingin merdeka karena ia tahu apa artinya tidak
merdeka. Tidak merdeka berarti: tiap saat siap ditempeleng, dilucuti,
dibentak-bentak, diusir, dihina, diserobot, didiskriminasi, dilempar ke
dalam sel, dan/atau dibunuh. Anehnya retorik Agustusan yang sekarang tak
banyak bicara soal kesakitan itu bahkan sering terdengar kata “mengisi
kemerdekaan”, seakan kemerdekaan adalah “sebuah ruang kantor yang
kosong, yang necis, gratis dan tinggal diberi perabotan.”[12]
Para founding fathers
mengaku dalam UUD ‘45 bahwa kemerdekaan dicapai bukan hanya sebagai
hasil usaha perjuangan pergerakan nasional, tetapi terwujud berkat
rahmat Allah yang Mahakuasa. K.H As’ad Syamsul Arifin, sesepuh NU itu
berkata, ”kita sebagai orang Islam harus merayakan secara islami pula.
Apalagi kita santri! Kita menghormati para pahlawan dengan cara
mengirimi mereka pahala mengaji, bukan menyanyi. Kita selayaknya harus
memasyarakatkan gerak batin bukan hanya gerak badan. Kita merayakan hari
kemerdekaan, dengan cara memperbanyak membaca Al Quran, zikir dan
sholawat![13]
Cita-cita
bersama untuk merdeka begitu kuat. Kendati dalam kata-kata Ben
Anderson, “tanggal 17 Agustus ‘45 Republik yang sudah lama
diidam-idamkan lahir dan mulai melangkah dengan gugup.”[14] Bermodal
kebersamaan dan kemauan untuk merdeka, dengan langkah gugup Indonesia
masuk ke dalam babak baru berbangsa. Langkah itu tenyata juga historis
di Asia, sebab Indonesia adalah daerah jajahan di Asia pasca PD II yang pertama kali memproklamasikan kemerdekaannya.
Segenap
komponen bangsa tanpa memandang latar belakang etnis dan agama
bersama-sama mengambil bagian dalam membentuk negara RI. Mereka terlibat
sebagai anggota BPUPKI dan PPKI, permasalahan ideologis menyangkut
dasar negara di selesaikan dengan penuh kearifan dalam ikatan
solidaritas yang amat kuat, sekaligus memperlihatkan ikatan kebesaran
jiwa para pendiri republik ini.***
[1] Tulisan
ini ini pernah didiskusikan dalam forum Refleksi Proklamasi yang
diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan Sejarah Peradaban Islam
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tanggal 18 Agustus 2003, bertempat
di Aula I IAIN Yogyakarta
[2]
Transmisi narasi historis dapat melalui teks, film atau berbagai sarana
virtual seperti yang ada pad masa modern ini. Karena itu, transmisi
dibagi dua: sejarah lisan (oral history) dan sejarah tulis. Dalam kenyataannya, sejarah lisan jauh lebih banyak daripada yang tetulis. Lihat, Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994) hlm. 19.
[3] Prof. Dr. Alwi Shihab, “Di Balik Radikalisme Islam Indonesia (1),” dalam Duta Masyarakat, 18 Desember 2002.
[4] Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 28
[5] Syamdani (ed.), Kontroversi Sejarah di Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2001) hlm. 9-11.
[6] Nurhakim Zaki, “Pengkhianatan 8 Agustus 1945,” tulisan dalam www.alislam.or.id edisi 16 Agutus 2002.
[7]
Buku baru—tepatnya kumpulan artikel—yang telah terbit dan menguak
sejarah gelap pada masa kekuasaan Orde Baru adalah tulisan Asvi Marwan
Adam, Sejarah Gelap Soeharto, (Yogyakarta: Ombak, 2004)
[8]
Secara umum, pemaparan sejarah awal proklamasi menggunakan diksi
seperti tersebut di atas. Hampir seluruh buku pelajaran sejarah yang
menjadi bacaan wajib siswa di sekolah sejak SD-SMA, memuat peristiwa
itu. Datar dan tanpa ekspresi, juga “menyembunyikan” banyak pertanyaan
bagi pembaca kritis. Lihat salah satunya di Tamar Djaja, Soekarno-Hatta, Persamaan dan Perbedaannya (Jakarta: Sastra Hudaya, 1981). Sebuah buku yang dikarang untuk mengkomparasikan sang Dwitunggal Indonesia.
[9]
Tuturan historis berkaitan S.M Kartosoewiryo banyak ditulis oleh para
sejarawan, terutama karena faktor pemberontakan DI/TII-nya. Kutipan ini
dapat dilihat di Al Chaidar, Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo (Jakarta: Darul Falah, Muharram 1420 H), hlm. 65., Sebuah buku yang cukup memenuhi sisi metodologis kesejarahan.
[10] Lihat dalam http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1998/02/05/0037.html,
selain itu sebuah tulisan yang cukup menguak kemisteriusan Tan Malaka
adalah Alfian, “Tan Malaka: Pejuang Revolusioner yang Kesepian,” dalam Manusia dalam Kemelut Sejarah, (Jakarta: LP3ES, 1978), hlm 132-173.
[11] Alexander Aur, “Tragedi Kemanusiaan dan Historisitas Indonesia,” opini dalam Sinar Harapan, 5 Juli 2003.
[12] Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 4 (Jakarta: Grafiti, 1999), hlm. 110.
[13] KHR. As’ad Syamsul Arifin, Percik-percik Pemikiran Kiai Salaf, Wejangan dari Balik Mimbar (Situbondo: PP. Salafiyyah Syafi’iyyah, 2000) hlm.9-10.
[14] Colin Wild & Peter Carey (ed.), Gelora Api Revolusi: Sebuah Antologi Sejarah; (Jakarta 1986), hlm 96.