Menatap
hampa hamparan luas diseberang sana,
tepat diatas kaki bumi
tempat temaramnya sinar yang di selimuti kabut.
senyumnya terlihat diantara awan-awan
lalu membentuk sebuah mellati.
Hatiku yang meraba jauh.
Tawanya yang terdengar tentram diantara sepoy'nya angin,
dan hingar-bingar yang mereka serukan.
... Aku yang kosong dengan mata ratap dan sisa air mata.
Telah aku berikan separuh milikku ke dimensi yang berbeda.
Seketika sekitar terdiam, terbuai oleh suara-suara indah yang terdengar di kepalaku.
Sepasang mata diseberang sana, yang menatap ke sisi yang sama.
namun bedanya kini di dunia yang berbeda
Diantara ramai yang tak peduli dengan tanggisku yang berlagu. Oh harmoni yang manis.
Aku pun ikut terbuai.
Cukup lama satu jalur itu terbuka. Mata demi mata demi mata.
Indahnya awan mendung yang tiba-tiba terjadi,
mengulang kembali jalan cerita yang terlalu kelam untuk tidak dilupakan.
Tapi aku tak bisa.
Aku kembali menatap hampa.
Telah aku berikan separuh milikku ke dimensi yang berbeda.
Yang aku sesali dengan mata ratap dan air mata yang tak bersisa.
Dengan senyuman yang sesungguhnya terbujur telungkup.
Mendekatkan kepalaku ke tanah yang terpaksa kembali ku letakkan.
Ingin lagi ku kecup kedua matanya.
Kembali berjalan ke seberang sana.
Walau semakin dekat pada raung binatang,
dan hingar-bingarnya mereka yang membuatku bosan.
Kembali menatap mata ratapnya.
Senyumnya yang damai.
Dengan mata ratapku.
Dan senyuman yang inginkan damai.
Tapi aku tak bisa.
Telah aku berikan separuh milikku ke dimensi yang berbeda.
Karena tangannya telah tergengam rapat
oleh nama yang berda denganku
dengan berakhiran "O"
tepat diatas kaki bumi
tempat temaramnya sinar yang di selimuti kabut.
senyumnya terlihat diantara awan-awan
lalu membentuk sebuah mellati.
Hatiku yang meraba jauh.
Tawanya yang terdengar tentram diantara sepoy'nya angin,
dan hingar-bingar yang mereka serukan.
... Aku yang kosong dengan mata ratap dan sisa air mata.
Telah aku berikan separuh milikku ke dimensi yang berbeda.
Seketika sekitar terdiam, terbuai oleh suara-suara indah yang terdengar di kepalaku.
Sepasang mata diseberang sana, yang menatap ke sisi yang sama.
namun bedanya kini di dunia yang berbeda
Diantara ramai yang tak peduli dengan tanggisku yang berlagu. Oh harmoni yang manis.
Aku pun ikut terbuai.
Cukup lama satu jalur itu terbuka. Mata demi mata demi mata.
Indahnya awan mendung yang tiba-tiba terjadi,
mengulang kembali jalan cerita yang terlalu kelam untuk tidak dilupakan.
Tapi aku tak bisa.
Aku kembali menatap hampa.
Telah aku berikan separuh milikku ke dimensi yang berbeda.
Yang aku sesali dengan mata ratap dan air mata yang tak bersisa.
Dengan senyuman yang sesungguhnya terbujur telungkup.
Mendekatkan kepalaku ke tanah yang terpaksa kembali ku letakkan.
Ingin lagi ku kecup kedua matanya.
Kembali berjalan ke seberang sana.
Walau semakin dekat pada raung binatang,
dan hingar-bingarnya mereka yang membuatku bosan.
Kembali menatap mata ratapnya.
Senyumnya yang damai.
Dengan mata ratapku.
Dan senyuman yang inginkan damai.
Tapi aku tak bisa.
Telah aku berikan separuh milikku ke dimensi yang berbeda.
Karena tangannya telah tergengam rapat
oleh nama yang berda denganku
dengan berakhiran "O"